BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Studi-studi sosiologi dan manajemen dalam beberapa dekade
belakangan bermuara pada satu kesimpulan yang mengaitkan antara etos kerja
manusia dengan keberhasilannya, bahwa keberhasilan di berbagai wilayah
kehidupan ditentukan oleh sikap, perilaku dan nilai-nilai yang diadopsi
individu-individu manusia di dalam komunitas atau konteks sosialnya. Melalui
pengamatan terhadap karakteristik masyarakat di bangsa-bangsa yang mereka
pandang unggul, para peneliti menyusun daftar tentang ciri-ciri etos kerja yang
penting.
Sebagai contoh, etos kerja Bushido dinilai sebagai faktor penting
dibalik kesuksesan ekonomi Jepang di kancah dunia. Etos kerja Bushido ini
mencuatkan tujuh prinsip, yakni: [1]
1.
Gi – keputusan yang benar diambil dengan sikap
yang benar berdasarkan kebenaran; jika harus mati demi keputusan itu, matilah
dengan gagah, sebab kematian yang demikian adalah kematian yang terhormat.
2.
Yu – berani dan bersikap kesatria
3.
Jin – murah hati, mencintai dan bersikap baik
terhadap sesame
4.
Re – bersikap santun, bertindak benar
5.
Makoto – bersikap tulus yang setulus-tulusnya,
bersikap sungguh dengan sesungguh-sungguhnya dan tanpa pamrih
6.
Melyo – menjaga kehormatan, martabat dan
kemuliaan, serta
7.
Chugo – mengabdi dan loyal.
Begitu pula keunggulan bangsa Jerman, menurut para sosiolog,
terkait erat dengan etos kerja Protestan, yang mengedepankan enam prinsip,
yakni:
1)
Bertindak rasional,
2)
Berdisiplin tinggi,
3)
Bekerja keras,
4)
Berorientasi pada kekayaan material,
5)
Menabung dan berinvestasi, serta
6)
Hemat, bersahaja dan tidak mengumbar
kesenangan.
Pertanyaannya kemudian adalah seperti apa etos kerja bangsa
Indonesia ini. Dalam buku “Manusia Indonesia” karya Mochtar Lubis yang
diterbitkan sekitar seperempat abad yang lalu, diungkapkan adanya karakteristik
etos kerja tertentu yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Beberapa di antara
ciri-ciri itu adalah: munafik; tidak bertanggung jawab; feodal; percaya pada
takhyul; dan lemah wataknya. Beliau tidak sendirian. Sejumlah pemikir/budayawan
lain menyatakan hal-hal serupa. Misalnya, ada yang menyebut bahwa bangsa
Indonesia memiliki ‘budaya loyo,’ ‘budaya instan,’ dan banyak lagi.[2]
Tanpa bermaksud terlarut dalam kejayaan masa lalu, sejarah
menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki prestasi yang patut dihargai dalam
perjalanannya. Tegaknya candi Borobudur dan puluhan yang lainnya hanya mungkin
terjadi dengan dukungan etos kerja yang bercirikan disiplin, kooperatif, loyal,
terampil rasional (sampai batas tertentu), kerja keras, dan lain-lain.
Berkembang luasnya pengaruh kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit, Samudra
Pasai, Mataram, Demak, dengan berbagai perangkat dan infrastruktur teknologis
maupun sosial dalam pengelolaan kenegaraannya, juga mempersyaratkan adanya
suatu etos kerja tertentu yang patut dihargai. Selain ini, pesantren-pesantren
yang sampai kini masih bertahan dan berkembang, memiliki akar pertumbuhan pada
beberapa abad yang lalu, yang menunjukkan bahwa tradisi belajar-mengajar telah
menjadi bagian kehidupan masyarakat Tanah Air jauh sebelum bangsa Belanda
mengunjungi kita.
Sejarah bangsa Indonesia dapat menjadi salah sebuah sumber penting
bagi kita untuk menggali, memahami dan membangun etos kerja bangsa kita. Hanya
saja, perhatian pada sejarah tak jarang dimotivasi oleh dorongan-dorongan
apologetik, atau menjadi ‘pelarian’ dari tantangan-tantangan yang kita hadapi
hari ini. Jika potensi sejarah ini tidak dimanfaatkan secara optimal, ini bisa
berimplikasi keterasingan bangsa akan dirinya sendiri. Lebih jauh, ini bisa
membuat kita asing terhadap etos kerja bangsa kita sendiri.
Setiap bangsa mempunyai pandangan hidup, entah hal itu disadari
atau tidak. Pandangan hidup yang dimiliki suatu bangsa itu khas dan
mempengaruhi bagaimana prilaku dan budaya bangsa yang bersangkutan. Semangat
kerja pun dipengaruhi oleh pandangan hidup sehingga dalam kajian tentang suatu
masyarakat dikenal istilah etos kerja, yaitu semangat kerja yang menjadi ciri
khas dan keyakinan seorang atau suatu kelompok.
Demikian pula dengan Islam yang mempunyai ajaran tertentu.
Pandangan Islam atau pemeluknya tentang hubungan manusia dengan Tuhan juga
mempengaruhi etos kerja orang yang bersangkutan. Orang yang berpandangan bahwa
Allah menentukan nasib semua manusia dan manusia tidak diberi kekuasaan untuk
mengubahnya tentu akan mengakibatkan tingkat etos kerjanya rendah. Sebaliknya,
orang yang berpandangan bahwa Allah memberi kebebasan manusia untuk mengubah
nasibnya sendiri tentu akan mengakibatkan etos kerja yang tinggi.
B.
Rumusan Masalah
a)
Apa Pengertian Etos Kerja ?
b)
Apa Nilai-nila yang terdapat dalam Etos Kerja ?
c)
Apa Fungsi dan Tujuan Etos Kerja ?
d)
Bagaimana Konsep Etos Kerja dalam Perspektif
Islam ?
C.
Tujuan
a)
Mengetahui dan Memahami Pengertian Etos Kerja
b)
Mengetahui dan Memahami Nilai-nilai yang
terdapat dalam Etos Kerja
c)
Mengetahui dan Memahami Fungsi dan Tujuan Etos
Kerja
d)
Mengetahui dan Memahami Konsep Etos Kerja dalam
Perspektif Islam
BAB II
KAJIAN EMPIRIS
Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan
oleh Otto Iskandar, Mahasiswa Program
Pascasarjana, Universitas Negeri Jakarta, tentang ETOS KERJA, MOTIVASI, DAN SIKAP INOVATIF
TERHADAP PRODUKTIVITAS PETANI. yang terlampir menunjukkan bahwa :
Ø Etos kerja mempunyai hubungan
positif dengan produktivitas petani, yaitu makin tinggi etos kerja maka makin
tinggi produktivitas dan sebaliknya. Varibel etos kerja merupakan variabel
penting untukdiperhatikan dalam usaha peningkata produktivitas petani dalam
menggarap lahan pertanian.
Ø Motivasi keberhasilan petani
mempunyai hubungan positif dengan produktivitas petani, yaitu makin kuat
motivasi keberhasilan petani maka makin tinggi produktivitas petani dalam
menggarap lahann pertanian, dan sebaliknya. Oleh sebab itu motivasi
keberhasilan yang dimiliki petani merupakan variable penting untuk diperhatikan
dalam usaha peningkatan produktivitas.
Ø Sikap inovatif petani mempunyai
hubungan positif dengan produktivitas petani, berarti makin positif sikap
inovatif petani maka semakin tinggi produktivitas
yang dihasilkan dalam menggarap lahan
pertaniannya, dan sebaliknya. Oleh sebab itu dalam
usaha peningkatan produktivitas petani dalam menngarap
lahan pertanian sangat diperlukan sikap inovatif yang positif dalam mengadopsi
teknologi pertanian yang baru dan sesuai
dengan ekologi setempat.
Ø Dari ketiga varibel bebas yang
diteliti masing-masing terdapat hubungan
yang berbanding lurus antara etos kerja dengan produktivitas, motivasi
keberhasilan dengan produktivitas, dan antara sikap inovatif dengan
produktivitas, serta secara bersama-sama etos kerja, motivasi keberhasilan, dan
sikap inovatif terhadap produktivitas petani dalam menggarap lahan pertanian.
BAB III
KAJIAN TEORI
1.
Pengertian Etos
Kerja
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata “etos” berasal dari bahasa
Yunani (ethos) yang bermakna watak atau karakter. Maka secara lengkapnya
“etos” ialah : “Karakteristik dan sikap, kepercayaan serta kebiasaan, yang
bersifat khusus tentang seorang individu atau sekelompok manusia”.[3]
Dari perkataan etos terambil pula perkataan “etika” dan “etis” yang
merujuk kepada makna akhlak atau bersifat akhlaqi, yaitu kualitas dasar
seseorang atau suatu kelompok, termasuk juga suatu bangsa (Webster’s New World
Dictionary). Jadi, etos berarti : “Jiwa khas suatu kelompok manusia, yang pada
gilirannya membentuk pandangan dasar bangsa tersebut tentang sesuatu yang baik
dan yang buruk, yang akhirnya melahirkan etika dalam kehidupan kesehariannya”.
Adapun kerja adalah sesuatu yang setidaknya mencakup tiga hal; (1)
Dilakukan atas dorongan tanggung jawab, (2) Dilakukan karena kesengajaan dan
perencanaan dan (3) Memiliki arah dan tujuan yang memberikan makna bagi
pelakunya.
Berdasarkan definisi tersebut, etos kerja setidaknya mencakupi
beberapa unsur penting :
1. Etos kerja itu
bersumber dan berkaitan langsung dengan nilai-nilai yang tertanam dalam jiwa
seseorang. Itulah sebabnya menjadi sangat penting untuk menyeleksi setiap nilai
yang akan kita tanamkan dalam jiwa kita.
2. Etos kerja adalah
bukti nyata yang menunjukkan pandangan hidup seseorang yang telah mendarah
daging. Pandangan hidup yang benar tentu saja akan melahirkan etos kerja yang
lurus. Begitu pula sebaliknya.
3. Etos kerja
menunjukkan pula motivasi dan dorongan yang melandasi seseorang melakukan kerja
dan amalnya. Semakin kuat dan kokoh etos kerja itu dalam diri seseorang, maka
semakin kuat pula motivasinya untuk bekerja dan beramal.
4. Etos kerja yang
kuat akan mendorong pemiliknya untuk menyiapkan rencana yang dipandangnya dapat
menyukseskan kerja atau amalnya.
5. Etos kerja
sesungguhnya lahir dari tujuan, harapan dan cita-cita pemiliknya. Harapan dan
cita-cita yang kuatlah yang akan meneguhkan etos kerjanya. Cita-cita yang lemah
hanya akan melahirkan etos kerja yang lemah pula.
Etos menurut Geertz[4] diartikan sebagai
sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup. Sedangkan
kerja, menurut Taufik Abdullah, secara lebih khusus dapat diartikan sebagai
usaha komersial yang menjadi suatu keharusan demi hidup, atau sesuatu yang
imperatif dari diri, maupun sesuatu yang terkait pada identitas diri yang telak
bersifat sakral. Identitas diri yang terkandung di dalam hal ini, adalah
sesuatu yang telah diberikan oleh tuntutan religius (agama).
Apabila mengintroduksi pendapat Pandji Anoraga dan Sri Suryanti[5], maka etos kerja
diartikan sebagai pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja.
Berpijak pada pengertian bahwa etos kerja menggambarkan suatu sikap, maka dapat
ditegaskan bahwa etos kerja mengandung makna sebagai aspek evaluatif yang
dimiliki oleh individu (kelompok) dalam memberikan penilaian terhadap kegiatan
kerja. Mengingat kandungan yang ada dalam pengertian etos kerja, adalah unsur
penilaian, maka secara garis besar dalam penilaian itu, dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu penilaian positif dan negatif.
Berpangkal tolak dari uraian itu, maka menurut bahwa suatu individu
atau kelompok masyarakat dapat dikatakan memiliki etos kerja yang tinggi,
apabila menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut :
a)
Mempunyai penilaian yang sangat positif
terhadap hasil kerja manusia.
b)
Menempatkan pandangan tentang kerja, sebagai
suatu hal yang amat luhur bagi eksistensi manusia.
c)
Kerja yang dirasakan sebagai aktivitas yang
bermakna bagi kehidupan manusia.
d)
Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan
ketekunan dan sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita-cita,
e)
Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah.
Sedangkan bagi individu atau kelompok masyarakat, yang dimiliki
etos kerja yang rendah, maka akan menunjukkan ciri-ciri yang sebaliknya, yaitu:
a. Kerja dirasakan sebagai suatu hal yang membebani diri,
b. Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia,
c. Kerja dipandang sebagai suatu penghambat dalam memperoleh
kesenangan,
d. Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan,
e. Kerja dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup.
Etos kerja yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok masyarakat,
akan menjadi sumber motivasi bagi perbuatannya. Apabila dikaitkan dengan
situasi kehidupan manusia yang sedang “membangun”, maka etos kerja yang tinggi
akan dijadikan sebagai prasyaraat yang mutlak, yang harus ditumbuhkan dalam
kehidupan itu. Karena hal itu akan membuka pandangan dan sikap kepada
manusianya untuk menilai tinggi terhadap kerja keras dan sungguh-sungguh,
sehingga dapat mengikis sikap kerja yang asal-asalan, tidak berorientasi
terhadap mutu atau kualitas yang semestinya.
1. Turun/ rendahnya
produktivitas
2. Tingkat absensi
yang naik/ rendah
3. Labour turnover
(tingkat perputaran buruh) yang tinggi
4. Tingkat kerusuhan
yang naik
5. Kegelisahan
dimana-mana
6. Tuntutan yang
sering terjadi
7. Pemogokan
Berdasarkan beberapa
pengertian di atas, maka dapat disimpulkan etos kerja adalah sikap yang
mendasar baik yang sebelum, proses dan hasil yang bisa mewarnai manfaat suatu
pekerjaan.
Secara umum, etos kerja berfungsi sebagai alat penggerak tetap
perbuatan dan kegiatan individu. Menurut A. Tabrani Rusyan, fungsi etos kerja
adalah:
- Pendorong timbulnya perbuatan.
- Penggairah dalam aktivitas.
- Penggerak, seperti mesin bagi mobil besar kecilnya motivasi akan menentukan cepat lambatnya suatu perbuatan.[7]
Kerja merupakan
perbuatan melakukan pekerjaan atau menurut kamus W.J.S Purwadaminta, kerja
berarti melakukan sesuatu, sesuatu yang dilakukan.[8] Kerja memiliki arti
luas dan sempit dalam arti luas kerja mencakup semua bentuk usaha yang
dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun non materi baik bersifat
intelektual maupun fisik, mengenai keduniaan maupun akhirat. Sedangkan dalam
arti sempit, kerja berkonotasi ekonomi yang persetujuan mendapatkan materi.
Jadi pengertian etos adalah karakter seseorang atau kelompok manusia yang
berupa kehendak atau kemauan dalam bekerja yang disertai semangat yang tinggi
untuk mewujudkan cita-cita.
3.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Etos Kerja
Etos Kerja dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu:
Ø
Agama
Dasar pengkajian kembali
makna Etos Kerja di Eropa diawali oleh buah pikiran Max Weber. Salah satu unsur dasar dari kebudayaan
modern, yaitu rasionalitas (rationality)
menurut Weber (1958)[9] lahir dari etika Protestan. Pada dasarnya agama merupakan suatu
sistem nilai. Sistem nilai ini tentunya akan
mempengaruhi atau menentukan pola hidup para penganutnya. Cara berpikir, bersikap dan bertindak seseorang pastilah
diwarnai oleh ajaran agama yang dianutnya jika
ia sungguh-sungguh dalam kehidupan beragama. Dengan
demikian, kalau ajaran agama itu mengandung nilai-nilai yang dapat memacu pembangunan, jelaslah bahwa agama akan turut
menentukan jalannya pembangunan atau
modernisasi.
Menurut Rosmiani (1996)[10] Etos Kerja terkait dengan sikap mental, tekad,
disiplin dan semangat kerja. Sikap ini dibentuk oleh sistem orientasi
nilai-nilai budaya, yang sebagian bersumber dari agama atau sistem
kepercayaan/paham teologi tradisional. Ia menemukan Etos Kerja yang rendah
secara tidak langsung dipengaruhi oleh rendahnya kualitas keagamaan dan
orientasi nilai budaya yang konservatif turut menambah kokohnya tingkat Etos
Kerja yang rendah itu.
Ø
Budaya
Selain temuan Rosmiani (1996)
diatas, Usman Pelly (dalam Rahimah, 1995)
mengatakan bahwa sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja masyarakat juga disebut sebagai etos budaya dan secara
operasional, etos budaya ini juga disebut
sebagai Etos Kerja. Kualitas Etos Kerja ini ditentukan oleh sistem orientasi nilai budaya masyarakat yang
bersangkutan. Masyarakat yang memiliki sistem
nilai budaya maju akan memiliki Etos Kerja yang tinggi dan sebaliknya, masyarakat yang memiliki sistem nilai
budaya yang konservatif akan memiliki Etos
Kerja yang rendah, bahkan bisa sama sekali tidak
memiliki Etos Kerja.
Ø
Sosial
Politik
Soewarso, Rahardjo, Subagyo,
dan Utomo (1995) menemukan bahwa tinggi
rendahnya Etos Kerja suatu masyarakat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya struktur politik yang mendorong masyarakat untuk
bekerja keras dan dapat menikmati hasil kerja
keras mereka dengan penuh. KH. Abdurrahman Wahid
(2002) mengatakan bahwa Etos Kerja harus dimulai dengan kesadaran akan pentingnya arti tanggung jawab kepada masa depan
bangsa dan negara.
Dorongan untuk mengatasi
kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan hanya mungkin
timbul, jika masyarakat secara keseluruhan memiliki orientasi kehidupan yang
teracu ke masa depan yang lebih baik. Orientasi ke depan itu harus diikuti oleh penghargaan yang cukup kepada kompetisi
dan pencapaian (achievement). Orientasi ini
akan melahirkan orientasi lain, yaitu semangat profesionalisme
yang menjadi tulang-punggung masyarakat modern.
Ø
Kondisi Lingkungan/Geografis
Suryawati, Dharmika,
Namiartha, Putri dan weda (1997) juga menemukan adanya indikasi bahwa Etos Kerja dapat muncul dikarenakan
faktor kondisi geografis. Lingkungan alam yang
mendukung mempengaruhi manusia yang berada di
dalamnya melakukan usaha untuk dapat mengelola dan mengambil manfaat, dan bahkan dapat mengundang pendatang untuk turut
mencari penghidupan di lingkungan tersebut.
Ø
Pendidikan
Etos Kerja tidak dapat
dipisahkan dengan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan sumber daya manusia akan membuat seseorang
mempunyai Etos Kerja keras. Meningkatnya
kualitas penduduk dapat tercapai apabila ada pendidikan
yang merata dan bermutu, disertai dengan peningkatan dan perluasan pendidikan, keahlian dan keterampilan, sehingga
semakin meningkat pula aktivitas dan
produktivitas masyarakat sebagai pelaku ekonomi
(Rahimah, Fauziah, Suri dan Nasution, 1995).
Ø
Struktur
Ekonomi
Pada penulisan Soewarso,
Rahardjo, Subagyo, dan Utomo (1995) disimpulkan juga bahwa tinggi rendahnya
Etos Kerja suatu masyarakat dipengaruhi
oleh ada atau tidaknya struktur ekonomi, yang mampu memberikan insentif bagi anggota masyarakat untuk bekerja
keras dan menikmati hasil kerja keras mereka
dengan penuh.
Ø
Motivasi
Intrinsik individu
Anoraga (1992)[11] mengatakan bahwa Individu yang akan memiliki Etos Kerja yang tinggi adalah individu yang
bermotivasi tinggi. Etos Kerja merupakan suatu
pandangan dan sikap, yang tentunya didasari oleh nilai-nilai yang diyakini seseorang. Keyakinan inilah yang menjadi
suatu motivasi kerja. Maka Etos Kerja juga
dipengaruhi oleh motivasi seseorang. Menurut Herzberg (dalam Siagian, 1995),
motivasi yang sesungguhnya bukan bersumber dari luar diri, tetapi yang
tertanam/terinternalisasi dalam diri sendiri, yang sering disebut dengan
motivasi intrinsik. Ia membagi factor pendorong manusia untuk melakukan kerja
ke dalam dua faktor yaitu factor hygiene dan faktor motivator. Faktor hygiene
ini merupakan faktor dalam kerja yang hanya akan berpengaruh bila ia tidak ada,
yang akan menyebabkan ketidakpuasan.
Ketidakhadiran faktor ini
dapat mencegah timbulnya motivasi, tetapi ia tidak menyebabkan munculnya
motivasi. faktor ini disebut juga factor ekstrinsik, yang termasuk diantaranya
yaitu gaji, status, keamanan kerja, kondisi kerja, kebijaksanaan organisasi, hubungan
dengan rekan kerja, dan supervisi. Ketika sebuah organisasi menargetkan kinerja
yang lebih tinggi, tentunya organisasi tersebut perlu memastikan terlebih
dahulu bahwa factor hygiene tidak menjadi penghalang dalam upaya menghadirkan
motivasi intrinsik.
Faktor yang kedua adalah
faktor motivator sesungguhnya, yang mana ketiadaannya bukan berarti
ketidakpuasan, tetapi kehadirannya menimbulkan rasa puas sebagai manusia. Faktor
ini juga disebut factor intrinsik, yang meliputi pencapaian sukses/achievement,
pengakuan/recognition, kemungkinan untuk meningkat dalam jabatan(Karier)/advancement,
tanggung jawab/responsibility, kemungkinan
berkembang/growth possibilities, dan pekerjaan itu sendiri/the work itself.
(Herzberg, dalam Anoraga, 1992). Hal-hal ini sangat diperlukan dalam
meningkatkan performa kerja dan menggerakkan pekerja hingga mencapai performa
yang tertinggi.
4.
Etos Kerja dalam
Perspektif Islam
Dalam kehidupan pada saat sekarang, setiap manusia dituntut untuk
bekerja guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan bekerja seseorang
akan menghasilkan uang, dengan uang tersebut seseorang dapat membelanjakan
segala kebutuhan sehari-hari hingga akhirnya ia dapat bertahan hidup. Akan
tetapi dengan bekerja saja tidak cukup, perlu adanya peningkatan, motivasi dan
niat.
Menurut Al-Ghazali dalam bukunya “Ihya-u “ulumuddin” yang di
kutip Ali Sumanto Al-Khindi dalam bukunya Bekerja Sebagai Ibadah, menjelaskan
pengertian etos (khuluk) adalah suatu sifat yang tetap pada jiwa, yang
dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak membutuhkan
pemikiran.
Menurut Dr. Musa Asy’arie etos kerja islami adalah rajutan
nilai-nilai khalifah dan abd yang membentuk kepribadian muslim dalam
bekerja. Nilai-nilai khalifah adalah bermuatan kreatif, produktif, inovatif,
berdasarkan pengetahuan konseptual, sedangkan nilai-nilai ‘abd bermatan
moral, taat dan patuh pada hukum agama dan masyarakat.[12]
Toto Tasmara mengatakan bahwa semangat kerja dalam Islam kaitannya
dengan niat semata-mata bahwa bekerja merupakan kewajiban agama dalam rangka
menggapai ridha Allah, sebab itulah dinamakan jihad fisabilillah.[13]
Ciri-ciri orang yang memiliki semangat kerja, atau etos yang
tinggi, dapat dilihat dari sikap dan tingkah lakunya, diantaranya:
1)
Orientasi kemasa depan.
Artinya semua kegiatan harus di rencanakan dan di perhitungkan
untuk menciptakan masa depan yang maju, lebih sejahtera, dan lebih bahagia
daripada keadaan sekarang, lebih-lebih keadaan di masa lalu. Untuk itu
hendaklah manusia selalu menghitung dirinya untuk mempersiapkan hari esok.[14]
2)
Kerja keras dan teliti serta menghargai waktu.
Kerja santai, tanpa rencana, malas, pemborosan tenaga, dan waktu
adalah bertentangan dengan nilai Islam, Islam mengajarkan agar setiap detik
dari waktu harus di isi dengan 3 (tiga) hal yaitu, untuk meningkatkan keimanan,
beramal sholeh (membangun) dan membina komunikasi sosial, firman Allah:
وَالْعَصْرِ. إِنَّ
الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ.
إِلَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا
بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ.
Artinya:
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran. (Q.S. Al-Ashr: 1-3)[15]
3)
Bertanggung jawab.
Semua masalah diperbuat dan dipikirkan, harus dihadapi dengan
tanggung jawab, baik kebahagiaan maupun kegagalan, tidak berwatak mencari
perlindungan ke atas, dan melemparkan kesalahan di bawah. Allah berfirman:
إِنْ أَحْسَنْتُمْ
أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ
أَسَأْتُمْ فَلَهَا فَإِذَا
جَاءَ وَعْدُ الْآخِرَةِ
لِيَسُوءُوا وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا
الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ
أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُوا
مَا عَلَوْا تَتْبِيرًا.
Artinya:
Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu
sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri, dan
apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan
orang-orang lain) untuk menyuramkan muk`a-muka kamu dan mereka masuk ke dalam
mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk
membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.(Q.S. Al-Isra’:
7)[16]
4) Hemat dan sederhana.
Seseorang yang memiliki etos kerja yang tinggi, laksana seorang
pelari marathon lintas alam yang harus berlari jauh maka akan tampak dari cara
hidupnya yang sangat efesien dalam mengelola setiap hasil yang diperolehnya.
Dia menjauhkan sikap boros, karena boros adalah sikapnya setan.
5)
Adanya iklim kompetisi atau bersaing secara
jujur dan sehat.
Setiap orang atau kelompok pasti ingin maju dan berkembang namun
kemajuan itu harus di capai secara wajar tanpa merugikan orang lain.
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ
هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُوا
الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا
تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ
اللَّهُ جَمِيعًا إِنَّ
اللَّهَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيرٌ.
Artinya:
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap
kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja
kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat).
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. Al-Baqarah:
148)[17]
Kunci etos kerja Islam adalah memberikan kebebasan individu untuk
memilih sektor kerja menurut kemampuannya. Setiap orang bebas mempergunakan
haknya untuk memilih mana yang terbaik untuk melakukan kebajikan. Kebebasan itu
telah menjadi ‘modal awal’ setiap individu untuk memperkuat etos kerja.
Adalah Afzalurrahman dalam bukunya Muhammad Sebagai Pedagang,
sangat mementingkan manusia sebagai figure sentral (1995: 74). Karena
individulah yang pada prakteknya akan menanggung sendiri perbuatnnya, baik di
dunia maupun di akhirat kelak. Selain itu, kehidupan sosial bukanlah masalah
kesejahteraan umum, tapi kesejahteraan setiap individu. Dan setiap individu
merupakan ujian yang nyata apakah sistem sosialnya baik atau buruk. Seberapa
jauh bisa membantu peningkatan setiap individu dalam pemanfaatan kemampuan mereka.[18]
Islam lebih menghargai seseorang yang melakukan usaha sendiri untuk
memenuhi kebutuhannya. Ini terekan dari kisah Adurrahman bin ‘Auf yang sangat
kukuh dengan etos kerjanya.[19] Sahabat Nabi ini dikenal piawai dalam
berdagang dan sangat disegani karena termasuk orang kaya Makkah, tapi rela
meninggalkan seluruh kenikmatan harta dan status sosilanya, karena dengan
compang-camping ikut hijrah ke Madinah. Ketika ditawari berbagai fasilitas oleh
Sa’ad bin Rabî’ (sahabat karibnya), dengan halus menolaknya sambil berkata;
‘cukuplah bagiku engkau tunjukkan pasar”
Etos kerja Islam, bagi M. Qurais Shihab sebagai pemadatan dari
konsep ‘kerja adalah keniscayaan sekaligus ibadah” (2007:304-305). Ahli tafsir
terkemuka dan Direktur Pusat Studi Al-Qur’an ini, menegaskan keniscayaan
bekerja itu disangga oleh keberadaan anugrah daya yang diberikan Allah swt.
Fisik yang menghasilkan kegiatan, fikiran untuk ilmu pengetahuan, kalbu yang
memberikan spirit profetik seperti kindahan, iman, merasa, dan hubungan dengan
Allah swt. Dan yang paling penting, daya itu menghasilkan semangat juang,
kemampuan menghadapi tantangan plus menanggulangi kesulitan.[20]
5.
Unsur-unsur Etos
Kerja.
Unsur-unsur etos kerja, baik dalam konsep kapitalis maupun Islam
tidak mempunyai perbedaan yang esensial. Keduanya mempunyai persamaan yang
meliputi:[21]
a) hemat dalam
menggunakan uang,
b)
menyerahkan sesuatu pekerjaan pada ahlinya
dengan tujuan menyerahkan keprofesionalan dalam kerja,
c)
pembagian waktu dan efisiensi, serta
d) memiliki jiwa
wiraswasta.
Hanya saja dalam Islam, jika hasil kerja yang diperoleh “memiliki
kelebihan” diwajibkan untuk menyisihkan sebagian hartanya untuk fakir-miskin,
anak yatim melalui zakat. Kerja dalam Islam didasarkan pada tiga unsur, yaitu
tauhid, takwa dan ibadah. Tauhid mendorong bahwa kerja dan hasil kerja adalah
sarana untuk mentauhidkan Allah Swt, sehingga terhindar dari pemujaan terhadap
materi. Takwa adalah sikap mental yang mendorong untuk selalu ingat, waspada
dan hati-hati memelihara diri dari noda dan dosa, menjaga keselamatan dengan
melakukan kebaikan dan menghindari keburukan. Ibadah artinya melaksanakan usaha
atau kerja dalam rangka beribadah kepada Allah Swt, sebagai realisasi dari
tugasnya menjadi khalifah fil ardl, untuk mencapai kesejahteraan dan
ketentraman di dunia dan di akhirat.[22]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Istilah etos kerja adalah istilah yang terdiri dari dua kata; Etos
dan Kerja. Etos sendiri berasal dari Bahasa Yunani yaitu Ethos yang berarti
sikap, kepribadian, watak, karakter, cara berbuat, keyakinan atas sesuatu dan
persepsi terhadap nilai bekerja. Dengan kata lain, Etos adalah norma serta cara
diri mempersepsi, memandang dan meyakini sesuatu.
Adapun kerja adalah sesuatu yang setidaknya mencakup tiga hal; (1)
Dilakukan atas dorongan tanggung jawab, (2) Dilakukan karena kesengajaan dan
perencanaan dan (3) Memiliki arah dan tujuan yang memberikan makna bagi
pelakunya.
Secara umum pengertian etos kerja adalah : (1) Keyakinan yang
berfungsi sebagai panduan tingkah laku bagi seseorang, sekelompok orang atau
sebuah institusi. (2) Etos Kerja merupakan perilaku khas suatu komunitas atau
organisasi, mencangkup motivasi yang menggerakkan, karakteristik utama, spirit
dasar, pikiran dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, sikap-sikap, aspirasi-aspirasi,
keyakinan-keyakinan, prinsip-prinsip, standar-standar. (3) Sehimpunan perilaku
positif yang lahir sebagai buah keyakinan fundamental dan komitmen total pada
sehimpunan paradigma kerja yang integral.
Etos kerja Islami adalah sebagaimana disebut oleh Dr. Musa
Asy’arie, yaitu rajutan nilai-nilai khalifah dan ‘abd yang membentuk
kepribadian muslim dalam bekerja. Nilai-nilai khalifah adalah bermuatan
kreatif, produktif, inovatif, berdasarkan pengetahuan konseptual, sedangkan
nilai-nilai ‘abd bermuatan moral, taat dan patuh pada hukum agama dan
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Alex S. Nitisemito, Manajemen
: Suatu Dasar dan Pengantar, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986.
A. Tabrani Rusyan, Pendekatan
dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung: CV Remaja Rosdakarya, 1989.
Diakses dari:
http://hbis.wordpress.com/2007/11/27/etos-kerja/
James L Gibson, Organisasi,
Jakarta, Erlangga 1989.
Kafrawi Ridwan. MA. Metode
Dakwah dalam Menghadapi Tantangan Masa Depan. (Jakarta: PT. Golden Terayon
Press, 1987.
Kusmayanto Kadiman
(Menteri Negara Riset dan Teknologi – Republik Indonesia), Diskusi Tentang
Etos Kerja, diakses pada tanggal 23-11-08 dari: www.ristek.go.id
Musa Asy’arie, Islam,
Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Ummat, Yogyakarta: Lesfi, 1997.
Pandji Anoraga dan
Sri Suyati, Perilaku Keorganisasian, Jakarta : Pustaka Jaya , 1995.
Taufik Abdullah, Etos
Kerja dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: LP3ES & Yayasan Obor, 1986.
Toto Tasmara, Etos
Kerja Muslim, Jakarta: Labmend, 1991.
W.J.S
.Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,
1976.
Rosmiani, (1996) ; Etos Kerja
Nelayan Muslim di Desa Paluh Sebaji Deli Serdang Sumatera Utara ; Hubungan
Kualitas Agama denga Etos Kerja ; Thesis ; Kerjasama Program Sarjana Institut
Agama Islam Negeri Jakarta & Pasca Sarjana Universitas Indonesia Jakarta.
Anoraga, Drs. Panji, (1992) ; Psikologi
Kerja; PT. Rineka Cipta; Jakarta
Weber, Max, (1958); The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism. Translated by Talcott
Parsons. Charles Scribner’s Sons, New York
[1] Kusmayanto Kadiman, Diskusi Tentang Etos Kerja,
diakses pada tanggal 23-11-08 dari: www.ristek.go.id
[2] Ibid
[3] W.J.S
.Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka:
1998). Cet. Ke-5
[4] Lihat
Taufik Abdullah, Etos Kerja dan Pembangunan Ekonomi, (Jakarta: LP3ES
& Yayasan Obor, 1986).
[5] Pandji
Anoraga dan Sri Suyati, Perilaku Keorganisasian, (Jakarta : Pustaka Jaya
, 1995), hal. 58
[6] Alex S.
Nitisemito, Manajemen : Suatu Dasar dan Pengantar, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1986), hal. 97
[7] A.
Tabrani Rusyan, Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: CV
Remaja Rosdakarya, 1989), Cet. Ke-8, hl. 63
[8] W.J.S
.Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,
1976), cet. Ke-5
[9] Weber, Max, (1958); The Protestan Ethic and The
Spirit of Capitalism. Translated by
Talcott Parsons. Charles Scribner’s Sons, New York
[10] Rosmiani, (1996) ; Etos Kerja Nelayan Muslim di Desa
Paluh Sebaji Deli Serdang Sumatera Utara ; Hubungan Kualitas Agama denga
Etos Kerja ; Thesis ; Kerjasama Program Sarjana Institut Agama Islam Negeri
Jakarta & Pasca Sarjana Universitas Indonesia Jakarta.
[11] Anoraga, Drs. Panji, (1992) ; Psikologi Kerja;
PT. Rineka Cipta; Jakarta
[12] Musa
Asy’arie Islam. Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Ummat, (Yogyakarta:
Lesfi, 1997), cet. Ke-1, hl.14
[14] Drs. H.
Kafrawi Ridwan. MA. Metode Dakwah dalam Menghadapi Tantangan Masa Depan.
(Jakarta: PT. Golden Terayon Press, 1987), Cet. Ke-1.hl. 29
[16] Lihat al-Qur’an
dan Terjemah Surat Al-Isra’ : 7
[17] Lihat al-Qur’an
dan Terjemah Surat Al-Baqarah : 148
[18] Diakses
dari: http://hbis.wordpress.com/2007/11/27/etos-kerja/
[20] Diakses
dari: http://hbis.wordpress.com/2007/11/27/etos-kerja/
[21] Ibid,
hal. 119.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar