BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Di
tengah-tengah pergulatan kehidupan masyarakat modern yang larut dengan
kebebasan dan lepas dari kendali agama seperti itulah peran kepemimpinan
islam semakin diperlukan dan menempati posisi strategis. Kepemimpinan yang
diajarkan bangsa Barat dirasa kurang memenuhi tuntutan era globalisasi yang
semakin maju dan modern. Sehingga membutuhkan sebuah solusi yang mampu menggantikan
konsep kepemimpinan Barat yang terkesan otoriter dan tidak berorientasi pada
kemaslahatan masyarakat suatu negara.
Sejak
munculnya agama islam yang dirintis oleh Nabi Muhammad SAW, konsep kepemimpinan
berubah drastis, yang semula otoriter menjadi demokratis. Yang semula keadaan
rakyat tidak diperhatikan maka dengan datangnya konsep kepemimpinan islam yang
berdasarkan pada Al Qur;an dan dicontohkan Nabi Muhammad SAW menjadikan rakyat
hidup damai dan sejahtera. Maka dari itu, sudah seyogyanya bagi mahasiswa yang
muslim mengetahui konsep kepemimpinan dalam perspektif islam.
B. RUMUSAN MASALAH
Berangkat dari latar belakang masalah diatas, kami mencoba
merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah kepemimpinan itu ?
2. Bagaimana kepemimpinan dalam prsfektif islam?
3. Apa syarat-syarat seorang pemimpin dalam islam ?
4. Apa kaedah-kaedah kepemimpinan dalam islam
?
C. TUJUAN PENULISAN MAKALAH
1. Mengingatkan
kembali kepada seluruh mahasiswa peserta diskusi, akan arti penting
kepemimpinan, agar dapat mengarahkan dan menumbuhkankan jiwa pemimpin yang
mempunyai loyalitas terhadap hukum-hukum Allah SWT.
2. Memaparkan
persamaan dan perbedaan tentang kepemimpinan dalam perspektif islam dan
kepemimpinan dalam perspektif barat, sehingga mahasiswa diharapkan mampu
mamahami dan menguasai perbandingan mengenai kelemahan dan kelebihannya, serta
menjadikannya arahan atau cerminan untuk menuju perbaikan bangsa.
3. Menjelaskan
syarat-syarat tipe seorang pemimpin dalam islam supaya mahasiswa dapat
mencontohnya dan mengaplikasikannya dalam berorganisasi
4. Mendeskripsikan
akan kaedah-kaedah kepemimpinan yang tersirat dan tersurat dalam
pedoman-pedoman agama islam
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan dalam pengertian secara umum adalah suatu proses
ketika seseorang memimpin (directs), membimbing (guides), mempengaruhi
(influences), atau mengontrol (controls) pikiran, perasaan, atau tingkah laku
orang lain. Dari pengertian umum tersebut dapat dipahami bahwa kepemimpinan
merupakan tindakan atau perbuatan seseorang yang menyebabkan seseorang atau
kelompok lain menjadi bergerak ke arah-arah tujuan tertentu. Sedangkan
pengertian secara khusus dapat dilihat dari beberapa pendapat berikut :
Ø
Haiman, berpendapat bahwa kepemimpinan adalah
suatu proses di mana seseorang memimpin, membimbing, mempengaruhi pikiran, atau
tingkah laku orang lain.
Ø
Munson (1921), mendefinisikan : Kepemimpinan
sebagai kemampuan menghandle orang lain untuk memperoleh hasil maksimal dengan
friksi sesedikit mungkin dan kerja sama yang besar. Kepemimpinan adalah
kekuatan semangat atau moral yang kreatif dan terarah.
Ø
John Pfifner, dalam bukunya yang berjudul Public
Administration (1960) memberikan definisi kepemimpinan adalah seni untuk
mengkordinasi dan memberikan dorongan terhadap indvidu atau kelompok untuk
mencapai tujuan yang diinginkan.
Dari pengertian di
atas dapat dsimpulkan bahwa seorang dapat disebut pemimpin apabila orang itu
dapat mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku orang lain, baik dalam
bentuk individu maupun kelompok untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Eggi (2003:12) yang merupakan seorang eksponen generasi muda,
mengatakan secara tajam bahwa dalam sejarah umat manusia belum satupun dapat
terwujud sosok pemimpin sehebat kepemimpinan Rasulullah SAW, iapun melontarkan
sejumlah kriteria persyaratan yang harus ada dalam sosok seorang pemimpin, dari
apa yang berusaha ia selami dari keteladanan kepemimpinan Rasulullah Saw,
yaitu:
1. Pemimpin harus
dekat dengan tuhan dan konsisten memperjuangkan nilai-nilai dan ajaran Tuhan
yang baik dan luhur.
2. Pemimpin haruslah
seorang yang ikhlas (nothing to loose), tanpa mengharap pamrih kecuali untuk
beribadah pada Tuhan melalui pengabdiannya kepada rakyat.
3. Pemimpin harus
sosok yang jujur dan adil. Dan khalifah umar bin khaththab merupakan contoh
pemimpin yang mampu membedakan mana kpentingan pribadi dan mana kepentingan
Negara.
4. Pemimpin harus
mencintai rakyat dan mendahulukan kepentingannya diatas kepentingan diri
keluarga dan golongannya.
Nampaknya, empat kriteri tersebut masih sangat jauh dari harapan
apabila kita melihat kembali pada realitas yang menindas saat ini.kepemimpinan dijadikan alat untuk mengeksploitasi rakyat.
Padahal Islam memandang kepemimpinan sebagai sebuah beban (taklif) dan
amanah, sehingga orang yang diberikan amanah kepemimpinan, dia harus
mengedepankan pelayanan kepada masyarakat. Karena pemimpin adalah khadimul
ummah (pelayan masyarakat).
Dalam kitabnya “Al-Qiyadah wal Jundiyah fil Islam”,
Sayid al-Wakil menjelaskan bahwa al-qiyadah dalam konteks
Al-Qur`an, Sunnah, dan Tarikh Islam memiliki empat pengertian.
Pertama, ro’i. Dalam sebuah hadits riwayat
Bukhari dan Muslim disebutkan,
“Setiap kalian adalah pemimpin (ro’i) dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang imam adalah pemimpin (ro’i) dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang suami (rojul) adalah pemimpin terhadap keluarganya, dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang pembantu (khadim) adalah pemimpin terhadap harta majikannya, dan akan dimintai pertanggungjawabaannya. Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya.”
“Setiap kalian adalah pemimpin (ro’i) dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang imam adalah pemimpin (ro’i) dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang suami (rojul) adalah pemimpin terhadap keluarganya, dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang pembantu (khadim) adalah pemimpin terhadap harta majikannya, dan akan dimintai pertanggungjawabaannya. Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya.”
Kepemimpinan dalam terminologi ro’i mencakup
kepemimpinan negara, masyarakat, rumah-tangga, kepemimpinan moral; yang
mencakup juga kepemimpinan laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, tak
seorang pun di dunia ini lepas dari tanggung jawab kepemimpinan, minimal
terhadap dirinya sendiri. Setiap orang mengemban amanah, dan setiap amanah
pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.
Ro’i berasal dari kata ro’a-yar’a-ro’yan-ri’ayatan
(Munawwir, 1997:510). Artinya kepemimpinan dalam terminologi ro’i
menyiratkan pentingnya makna ri’ayah yang artinya menggembala,
memelihara, mengarahkan, dan memberdayakan orang-orang yang dipimpinnya (ra’iyah).
Kedua, imam. Artinya pemimpin yang
selalu berada di depan. Kata imam seakar dengan kata amam
(di depan). Sehingga dalam terminologi ini, imam adalah pemimpin yang berfungsi
sebagai teladan dan sosok panutan yang membimbing orang-orang yang dipimpinnya.
Hilal (2005), Ibnul Qoyim telah mengemukakan dalam kajian
kepemimpinan, bahwa: kata imam juga berarti ma`mum. Dengan
pengertisan ini, maka seorang pemimpin selain siap untuk menjadi
imam, ia juga harus siap untuk menjadi ma`mum. Imam, selain bertugas
mengarahkan ma’mum, pada saat yang sama ia pun harus siap dikritik dan
diingatkan oleh ma’mum. Dalam shalat berjamaah, ketika imam melakukan
kesalahan, ma`mum wajib mengingatkannya dengan ucapan subhanallah.
Dan imam harus siap mendengarkan peringatan ma`mum.
Ketiga, khalifah. Secara terminologi artinya
pengganti kepemimpinan Rasulullah SAW.
Hilal (2005),
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa: kepemimpinan dalam terminologi khalifah juga
berarti menyiapkan kepemimpinan berikutnya sesuai dengan aturan syari’ah demi
tercapainya kemashlahat duniawi dan ukhrowi.
Kata khalifah
seakar dengan kata khalfun (belakang) (Munawwir, 1997:361). Ini artinya, seorang pemimpin bukan saja harus
mempersiapkan generasi pemimpin penggantinya, ia juga harus siap melanjutkan
kepemimpinan sebelumnya.
Keempat, amir.
Artinya pemerintah. Dalam hadits riwayat Bukhari, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad,
kita wajib menaati seorang pemimpin (amir) apapun warna kulitnya, bentuk
rupanya, kaya atau miskin, selama pemimpin itu berada dalam bimbingan wahyu
Allah Swt. Kata amir juga berarti ma`mur (yang diperintah). Ini artinya,
seorang pemimpin selain menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, ia juga harus
siap diperintah oleh rakyatnya dalam hal yang mengandung kemaslahatan untuk
semua.
B. Syarat Pemimpin dalam
Islam
Yahya (2004:55) mengutarakan persyaratan mengenai pemimpin dalam
islam:
1. Adil
1.1. Adil yang merupakan lawan dari dzalim
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى
أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ
اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا(النساء:58(
” Sesungguhnya Allah SWT menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah SWT memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah SWT adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” (Qs An Nisa: 58)
Adil dalam hal ini masih
bersisfat umum. Karena bisa saja orang yang non muslim tetapi memiliki sifat
adil, makna tersebut dapat ditangkap melalui ungkapan Umar Bin Khatab: kita
lebih berhak berlaku adil daripada sang kaisar” dan juga dalam ungkapan rasul
mensinyalir an-najasyi (raja habasah)” sesungguhnya dinegeri itu terdapat raja
yang adil”
1.2. Adil yang merupakan lawan dari fasiq
فَإِذَا
بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ
بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ
لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا(الطلاق:2)
” Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah
mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan
kesaksian itu karena Allah SWT. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang
yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa
kepada Allah SWT niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar.” (Qs At
Thalaq : 2)
Adil dalam pengertian ini bersifat lebih khusus.artinya, hanya
dimiliki oleh orang beriman. Konklusinya, “setiap orang adil (lawan fasiq)
pasti adil (lawan dzalim). Namun, tidak setiap adil pasti adil”. dari sifat
adil tersebutjelas, bahwa adil yang dimaksud adalah (adil) yang merupakan lawan
dari fasiq.
2. Laki-laki:
Rasulullah SAW bersabda “tidak akan bahagia suatu kaum yang
dipimpin oleh wanita”. Hadits ini banyak memunculkan banyak kontroversi,
terlebih dikalangan kaum feminis, mestinya hadits ini difahami dengan
pendekatan iman, jika tidak yang muncul adal Su-Uddzon kepada Rasulullah SAW.
Bagi sorang yang beriman hadits ini sangat jelas dan gamblang karena mereka
yakin bahwa Rasulullah SAW tidak mengucapkan segala sesuatu berdasarkan hawa
nafsu melainkan dengan wahyu.
3. Merdeka (tidak
berstatus budak).
Merdeka dari segala belenggu lahir dan bathin. sehingga tidak ada
gangguan dan tekanan dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya.
4. Baligh / dewasa
5. Berakal sehat /
tidak cacat mental.
Pada era globalisasi dan serba canggih ini pendidikan tinggi dan
kecerdasaan merupakan sebuah keharusan. Seorang tokoh islam pernah berkata:
“pemimpin yang korup akan menyengsarakan rakyat, pemimpin yang bodoh akan
menghancurkan rakyat”
6. Bisa menjadi hakim.
Baik dalam penguasaan terhadap ilmu hukum maupun dalam mengambil
keputusan lewat sebuah ijtihad.
7. Punya keahlian militer, persenjataan dan
urusan perang.
Salah satu tugas pemimpin
adalah menjaga keamaaanan dan melindungi rakyat, karena itu pemimpin harus
mahir dalam bidang militer.
8. Tidak cacat fisik
وَقَالَ
لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا
أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ
وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ
وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ
يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ(البقرة:247)
” Nabi mereka
mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah SWT telah mengangkat Thalut
menjadi rajamu”. Mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal
kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak
diberi kekayaan yang banyak?” (Nabi mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah SWT
telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh
yang perkasa.” Allah SWT memberikan pemerintahan kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan Allah SWT Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.”
(Qs Albaqarah: 247).
Seorang pemimpin dalam islam itu tidak boleh terlepas
ciri-ciri berikut ini sebagai pedoman dalam memilih calon pemimpin masa depan:
1) Setia; Pemimpin dan orang
yang dipimpin terikat kesetiaan kepada Allah.
2)
Tujuan;
Pemimpin melihat tujuan organisasi bukan saja berdasarkan kepentingan kelompok
tetapi juga dalam ruang lingkup tujuan Islam yang lebih luas.
3)
Berpegang pada Syariat dan Akhlak Islam; Pemimpin terikat dengan peraturan
Islam, boleh menjadi pemimpin selama ia berpegang pada perintah syariat. Waktu
mengendalikan urusannya ia harus patuh kepada adab-adab Islam, khususnya ketika
berurusan dengan golongan oposisi atau orang-orang yang tak sepaham.
4) Pengemban
Amanah; Pemimpin menerima kekuasaan sebagai amanah dari Allah yang disertai
oleh tanggung jawab yang besar. Qur’an memerintahkan pemimpin melaksanakan
tugasnya untuk Allah dan menunjukkan sikap baik kepada pengikutnya.
الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ
وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ
وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الأُمُورِ(الحج:41(
“Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan
mereka, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat
yang ma’ruf dan mencegah perbuatan yang mungkar… “(QS.22:41).
C. Kaedah-kaedah Kepemimpinan dalam Islam
1) Kepemimpinan Bersifat Tunggal
Dalam khazanah politik Islam, kepemimpinan
negara itu bersifat tunggal. Tidak ada pemisahan, ataupun pembagian kekuasaan
di dalam Islam. Kekuasaan berada di tangan seorang Khalifah secara mutlak.
Seluruh kaum Muslim harus menyerahkan loyalitasnya kepada seorang pemimpin yang
absah. Mereka tidak diperbolehkan memberikan loyalitas kepada orang lain,
selama Khalifah yang absah masih berkuasa dan memerintah kaum Muslim dengan
hukum Allah SWT. Dalam hal ini, Rasulullah Saw bersabda:
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ
قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ
فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ
“Siapa saja yang telah membai’at seorang
Imam (Khalifah), lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaknya
ia mentaatinya jika ia mampu. Apabila ada orang lain hendak merebutnya
(kekuasaan itu) maka penggallah leher orang itu.” [HR. Muslim].
مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ
أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ
“Siapa saja yang datang kepada kamu sekalian, sedangkan urusan kalian berada di tangan seorang Khalifah, kemudian dia ingin memecah-belah kesatuan jama’ah kalian, maka bunuhlah ia.” [HR. Muslim].
“Siapa saja yang datang kepada kamu sekalian, sedangkan urusan kalian berada di tangan seorang Khalifah, kemudian dia ingin memecah-belah kesatuan jama’ah kalian, maka bunuhlah ia.” [HR. Muslim].
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi
Hazim yang mengatakan, “Aku telah mengikuti majelis Abu Hurairah selama 5 tahun,
pernah aku mendegarnya menyampaikan hadits dari Rasulullah Saw. Yang bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ
الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ
بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا
بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ
سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan
dipelihara urusannya oleh para Nabi.Setiap kali seorang Nabi meninggal, digantikan
oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada Nabi sesudahku. (Tetapi) nanti
akan ada banyak Khalifah.” Para shahabat bertanya, “Apakah yang engkau
perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah bai’at yang pertama, dan
yang pertama itu saja. Berikanlah kepada mereka haknya karena Allah nanti akan
menuntut pertanggungjawaban mereka terhadap rakyat yang dibebankan urusannya
kepada mereka.” [HR. Imam Muslim]
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan
dengan jelas bahwasanya kepemimpinan dalam Islam bersifat tunggal, bukan
bersifat kolegial. Dari riwayat-riwayat di atas kita bisa menyimpulkan bahwa
tidak ada pembagian kekuasaan di dalam Islam.
2) Kepemimpinan Islam Itu Bersifat Universal
Kepemimpinan Islam itu bersifat univeral,
bukan bersifat lokal maupun regional. Artinya, kepemimpinan di dalam Islam
diperuntukkan untuk Muslim maupun non Muslim. Sedangkan dari sisi konsep
kewilayahan, Islam tidak mengenal batas wilayah negara yang bersifat tetap
sebagaimana konsep kewilayahan negara bangsa. Batas wilayah Daulah Khilafah
Islamiyyah terus melebar hingga mencakup seluruh dunia, seiring dengan
aktivitas jihad dan futuhat. Al-Qur’an telah menjelaskan hal ini dengan sangat
jelas. Allah SWT berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً
لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (Qs. Saba’[34]: 28).
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (Qs. Saba’[34]: 28).
قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ
اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا
إِلَهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ
الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ
تَهْتَدُونَ
“Katakanlah: ‘Hai manusia sesungguhnya
aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan
langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang
menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya,
Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimatNya
(kitab-kitabNya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk’.” (Qs.
al-A’râf [7]: 158).
Rasulullah Saw juga bersabda:
بُعِثْتُ
إِلَى الْأَحْمَرِ وَالْأَسْوَدِ
“Saya diutus untuk bangsa yang berkulit
merah hingga yang berkulit hitam.”[HR. Imam Ahmad dalam Musnad Imam Ahmad]
Nash-nash di atas merupakan bukti yang
nyata bahwa kepemimpinan di dalam Islam bersifat universal, bukan hanya untuk
umat Islam semata, akan tetapi juga ditujukan bagi seluruh umat manusia.
3) Kepemimpinan Itu Adalah Amanah
Pada dasarnya, kepemimpinan itu adalah
amanah yang membutuhkan karakter dan sifat-sifat tertentu. Dengan karakter dan
sifat tersebut seseorang akan dinilai layak untuk memegang amanah kepemimpinan.
Atas dasar itu, tidak semua orang mampu memikul amanah kepemimpinan, kecuali
bagi mereka yang memiliki sifat-sifat kepemimpinan. Sifat-sifat kepemimpinan
yang paling menonjol ada tiga.
Pertama, al-quwwah (kuat). Seorang
pemimpin harus memiliki kekuatan ketika ia memegang amanah kepemimpinan.
Kedua, al-taqwa (ketaqwaan).
Ketaqwaan adalah salah satu sifat penting yang harus dimiliki seorang pemimpin
maupun penguasa. Sebegitu penting sifat ini, tatkala mengangkat pemimpin perang
maupun ekspedisi perang, Rasulullah Saw selalu menekankan aspek ini kepada para
amirnya.
Ketiga, al-rifq (lemah lembut)
tatkala bergaul dengan rakyatnya. Sifat ini juga sangat ditekankan oleh
Rasulullah Saw. Dengan sifat ini, pemimpin akan semakin dicintai dan tidak
ditakuti oleh rakyatnya.
4) Kepemimpinan Adalah Tugas Pengaturan, Bukan
Kekuasaan Otoriter
Pada dasarnya, kepemimpinan di dalam
Islam merupakan jabatan yang berfungsi untuk pengaturan urusan rakyat. Seorang
pemimpin adalah pengatur bagi urusan rakyatnya dengan aturan-aturan Allah SWT.
Selama pengaturan urusan rakyat tersebut berjalan sesuai dengan aturan Allah,
maka ia layak memegang jabatan pemimpin. Sebaliknya, jika ia telah berkhianat
dan mengatur urusan rakyat dengan aturan kufur, maka pemimpin semacam ini tidak
wajib untuk ditaati.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi
Hazim yang mengatakan, “Aku telah mengikuti majelis Abu Hurairah selama 5
tahun, pernah aku mendegarnya menyampaikan hadits dari Rasulullah Saw. Yang bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ
الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ
بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا
بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ
سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan
dipelihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal,
digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku.
(Tetapi) nanti akan ada banyak Khalifah.” Para shahabat bertanya, “Apakah yang
engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah bai’at yang
pertama, dan yang pertama itu saja. Berikanlah kepada mereka haknya karena
Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka terhadap rakyat yang
dibebankan urusannya kepada mereka.”[HR. Imam Muslim]
Tatkala menjelaskan hadits yang berbunyi,
“Imam adalah penjaga, dan bertanggungjawab terhadap rakyatnya”, Imam Badrudin
al-Aini, menyatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa urusan dan kepentingan
rakyat menjadi tanggungjawab seorang Imam (Khalifah). Tugas seorang Imam dalam
hal ini adalah memikul urusan rakyat dengan memenuhi semua hak mereka.”[1]
Walhasil, seorang pemimpin harus selalu
menyadari bahwa kekuasaan yang digenggamnya tidak boleh diperuntukkan untuk
hal-hal yang bertentangan dengan syari’at, misalnya untuk memperkaya diri,
mendzalimi, maupun untuk mengkhianati rakyatnya. Namun, kekuasaan itu ia
gunakan untuk mengatur urusan rakyat sesuai dengan aturan-aturan Allah SWT.
5) Kepemimpinan Itu Bersifat Manusiawi
Kepemimpinan di dalam Islam bersifat
manusiawi. Artinya, seorang pemimpin bukanlah orang yang bebas dari dosa dan
kesalahan. Ia bisa salah dan lupa, alias tidak ma’shum (terbebas dari dosa).
Untuk itu, syarat kepemimpinan di dalam Islam bukanlah kema’shuman akan tetapi
keadilan. Dengan kata lain, seorang pemimpin tidak harus ma’shum (bahkan tidak
boleh menyakini ada pemimpin yang ma’shum), akan tetapi cukup memiliki sifat
adil.
Adil adalah orang yang terkenal konsisten
dalam menjalankan agamanya (bertaqwa dan menjaga kehormatan). Orang yang fasiq
—lawan dari sifat adil—tidak boleh menjadi seorang pemimpin atau penguasa.
Allah SWT berfirman:
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ
“Hendaknya menjadi saksi dua orang yang
adil dari kamu sekalian.” (TQS. ath-Thalâq [65]: 2).
Seorang penguasa (Khalifah) memiliki
kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan para saksi. Jika saksi saja
diharuskan memiliki sifat adil, lebih-lebih lagi seorang pemimpin (Khalifah).
Walhasil, seorang pemimpin harus memiliki sifat adil, dan tidak harus ma’shum.
6) Kepemimpinan Ditegakkan untuk Menerapkan Hukum
Allah
Islam telah mewajibkan penguasa untuk
menjalankan roda pemerintahan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.
Sebab, kekuasaan itu disyariatkan untuk menegakkan dan menerapkan hukum-hukum
Allah swt. Kekuasaan dan pemerintahan tidak disyariatkan semata-mata untuk
menciptakan kemashlahatan di tengah-tengah masyarakat, akan tetapi, ditujukan
untuk melaksanakan hukum-hukum Allah swt. Untuk itu, setiap persoalan harus
dipecahkan berlandasarkan hukum Allah.
Islam juga memberi hak kepada penguasa
untuk melakukan ijtihad, menggali hukum-hukum dari dua sumber hukum tersebut.
Islam melarang penguasa mempelajari (untuk diterapkan) aturan-aturan selain
Islam, atau mengambil sesuatu selain dari Islam. Hukum yang diberlakukan untuk
mengatur urusan kenegaraan dan rakyat, hanyalah hukum yang bersumber dari
Al-Kitab dan Al-Sunnah. Bukti yang menunjukkan hal ini sangatlah banyak,
diantaranya adalah firman Allah swt berikut ini;
4
`tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/
tAtRr&
ª!$#
y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÍÍÈ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang kafir.” ]TQS Al Maidah (5): 44].
`tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/
tAtRr&
ª!$#
y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd cqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÐÈ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
fasik.” [TQS Al Maidah (5):47].
Allah juga memberi pahala bagi penguasa
yang melakukan ijtihad meskipun ijtihadnya salah. Hal semacam ini tentunya
sangat mendorong penguasa untuk terus melakukan ijtihad. Imam Bukhari
meriwayatkan dari ‘Amru bin ‘Ash bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah SAW
bersabda, “Jika penguasa menjalankan pemerintahan, lalu berijtihad, kemudian
benar, maka baginya dua pahala. Jika menjalankan pemerintahan, lalu ijtihad,
kemudian salah, maka baginya satu pahala.” Syariat dengan tegas telah membatasi
hukum-hukum yang dijalankan penguasa haruslah hukum Islam, bukan hukum lainnya.
Bahkan, Islam mewajibkan kaum Muslim
untuk memerangi penguasa-penguasa yang telah terjatuh ke dalam kufran shurahan
(kekufuran yang nyata). Dan salah satu sebab yang menjatuhkan penguasa ke dalam
kufran shurahan adalah; jika ia telah mengganti sendi-sendi Islam dan
menerapkan hukum-hukum kufur.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sejarah islam
mencatat, keberhasilan para pemimpin dikalangan umat islam, khususnya ketika
zaman Rasulullah SAW. Konsep kepemimpinan ini masih menjadi sebuah tanda tanya
besar dikalangan umat islam sendiri, apalagi ditambah dengan, semakin hilangnya
pigur-pigur, dan tokoh-tokoh yang mahir dalam kepemimpinan, perbedaan tersebut
karena di pengaruhi oleh, ajaran-ajaran orng barat yang mencoba untuk mengikis
habis, pemahaman asli umat islam terhadap kepemimpinan.
Hukum-hukum Allah adalah suatu keniscayaan yang mengatur umat manusia, yang membantu manusia dalam mencapai
realitas kebahagiaan. Hukum-hukum Allah ditegakkan agar keadilan dan kebenaran
dapat terjamah oleh orang-orang yang tertindas dan terdzalimi.
Sekarang ini untuk terjaganya hukum-hukum Illahiah yang mengatur kehidupan
umat manusia dan masyarakat, maka di butuhkan seorang pemimpin yang memiliki
pengetahuan luas tentang hukum Allah dan keadilan, akhlak yang mulia, matang
secara kejiwaan dan ruhani, kemampuan mengatur (mengorganisasi), dan memiliki
pola hidup yang sederhana. Sehingga seorang pemimpin mempunyai tanggung jawab
dan amanah terhadap amanat yang diembannya yang pada akhirnya akan tercipta
kerukunan dan kemakmuran masyarakat dan bangsa suatu negara
DAFTAR PUSTAKA
Kayo, Khatib Pahlawan, (2005), ” Kepemimpinan
Islam dan Dakwah ”, Jakarta : Amzah
Hilal, S. (2005). “Ketaatan Pada Pemimpin“, Rubrik: Taujihat. Dicetak dari PK-Sejahtera
[Online] 33.
Husain, H. (2003). “Sejarah Hidup Muhammad“ (cetakan kedua puluh delapan). Bogor: Litera AntarNusa.
Sudjana, E. (2003). “Visi
Pemimpin Masa Depan: Menggagas Politik Berkeadilan”. Bandung: Penerbit
Marja’.
Wahid, A. et.al. (1993).
“Kontroversi Pemikiran Islam Di Indonesia”. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Yahya, R. (2004). “Memilih
Pemimpin Dalam Perspektif Islam”. Jakarta: Pustaka Nawaitu.
Imam Badruddin Al-Aini, Umdah al-Qari, Syarh
Shahih al-Bukhari, jld. XXIV, hal. 221.
Imam Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 12/243-244
Tidak ada komentar:
Posting Komentar